Thursday, March 15, 2007

Pengentasan Kemiskinan dan Rencana Pengembangan Perkebunan Sawit di NAD

Oleh: Yayu Ramdhani


Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas pembangunan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Data distribusi penduduk miskin di Indonesia tahun 2004 (BAPPENAS dan Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2005) memperlihatkan Provinsi NAD termasuk dalam kelompok 10 besar Provinsi-provinsi dengan prosentasi penduduk miskin tertinggi. Demikian juga Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) berdasarkan kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi tahun 2002, Provinsi NAD masuk ke dalam kelompok 10 besar Provinsi-provinsi dengan IKM tinggi. Ironisnya, NAD merupakan salahsatu Provinsi terkaya sumberdaya alamnya terutama dari minyak bumi dan gas alam. Gambaran yang timpang ini tercermin dari data Kabupaten Aceh Utara yang mempunyai PDRB perkapita yang tinggi tetapi tidak diikuti dengan pemerataan penghasilan sehingga Kabupaten ini juga memiliki persentasi penduduk miskin yang tinggi. Pernyataan Gubernur NAD di media massa (Kompas, 2007) menyebutkan bahwa Provinsi NAD mempunyai 40% penduduk miskin.

Peluang untuk mengentaskan kemiskinan dengan jalan membuka perkebunan sawit merupakan salah satu alternatif yang ditangkap oleh Pemerintah Provinsi NAD dengan menggandeng investor dari Malaysia. Perkebunan sawit seluas 145.000 hektar dengan 14 pabrik pengolahannya akan dibangun dan diperuntukkan bagi 40.000 rakyat miskin dan yatim piatu di NAD (Waspada, 2007). Selanjutnya akan dibentuk Aceh Plantation Development Authority (APDA) yang mengadopsi system di Malaysia, Federal Land Development Authority (FELDA) untuk menjadi penggerak investasi perkebunan kelapa sawit di NAD (Acehkita.com, 2007; Kompas, 2007).

Disamping keuntungan financial yang akan didapat, keberadaan perkebunan sawit seringkali berkorelasi dengan dampak negatif dari lingkungan dan sosial budaya yang berubah. Pada beberapa kasus, keberadaan perkebunan sawit dan managementnya berkaitan dengan pembalakan liar, kebakaran hutan, dan konflik dengan masyarakat lokal.

Perlu diperhitungkan bahwa meningkatnya kepedulian masyarakat madani dunia terhadap nilai-nilai ramah lingkungan suatu produk termasuk yang berbahan sawit telah meningkatkan kehati-hatian berbagai pihak. Produk sawit yang tidak dihasilkan dari perkebunan yang sustainable akan mengakibatkan resiko buruk bagi industri dan jaringannya. Fenomena ini ditanggapi dengan baik oleh berbagai pihak. Migros dan Unilever sebagai retailer besar produk sawit telah mengembangkan kriteria dan petunjuk dalam rangka mendukung pelaksanaan pengelolaan produksi minyak sawit yang sustainable. The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bekerja untuk membangun prinsip-prinsip-prinsip dan criteria yang disepakati secara menyeluruh mengenai hal yang berkaitan dengan produksi dan penggunaan minyak sawit dengan pelaksanaan managemen yang lebih baik.

Luas 145.000 ha yang dikedepankan dalam rencana pembukaan perkebunan sawit di NAD nampaknya sejalan dengan ambisi Indonesia untuk menjadi pengeksport utama minyak sawit dunia melampaui Malaysia pada tahun 2020. Menurut Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI, 2005) pada periode 2005 – 2020, untuk mencapai target sebagai pengeksport utama minyak sawit di dunia, Indonesia harus melakukan perluasan perkebunan sawit sekitar 120.000 – 140.000 ha per tahun. Artinya dalam waktu 15 tahun sudah harus ada perkebunan sawit baru seluas 1.8 – 2.1 juta hektar.

Pada prinsipnya, segala hal yang menyangkut pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk pengembangan perkebunan sawit haruslah didukung selama mengindahkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berbasis lahan seperti pengembangan perkebunan sawit perlu disikapi dengan lebih hati-hati karena di atas sebidang lahan disamping aspek fisik seperti fungsi dan kesesuaian untuk penggunaan tertentu, di manapun lahan itu berada telah melekat aspek yang menyangkut hukum, baik hukum adat setempat maupun hukum negara, yang perlu dipertimbangkan.

Pemerintah provinsi NAD nampaknya dapat lebih bijaksana untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan dengan cara landreform melalui pembagian lahan-lahan perkebunan sawit kepada rakyat miskin dan yatim piatu. Perencanaan yang baik yang dilaksanakan dengan baik merupakan kunci keberhasilan program dimana setiap proyek yang dijalankan menjadi tepat sasaran.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat menjadi alat kontrol untuk mengarahkan lokasi-lokasi setiap proyek pembangunan yang memerlukan lahan. Spatial Decission Support System (SDSS) yang merujuk criteria-kriteria RSPO dan telah diterapkan untuk menilai kesesuaian lahan untuk sawit di Kalimantan dapat diadopsi dengan beberapa penyesuaian menurut persamaan dan perbedaan karakteristik ruangnya.

Dengan menggunakan SDSS sedikitnya ada empat langkah yang harus dilakukan Pemda NAD sebelum melaksanakan pembukaan perkebunan sawit. Pertama, terlebih dahulu harus dicari lokasi-lokasi yang mempunyai tingkat kesesuaian dan kelayakan lahannya. Langkah pertama ini akan menghasilkan informasi berupa basis data dan peta sebaran tingkat kelayakan lahan untuk perkebunan sawit di NAD.

Ke-dua adalah menggali informasi wilayah-wilayah miskin pada tingkat gampong (satuan administrasi terkecil di NAD). Gambaran kemiskinan masyarakat dalam suatu daerah dapat dimunculkan dengan kuantifikasi kemiskinan dalam bentuk indeks kemiskinan daerah. Verifikasi data terakhir Potensi Desa Sensus Pertanian BPS dapat menjadi acuan untuk tahap pekerjaan ini. Hasil yang akan didapat adalah basis data dan peta sebaran tingkat kemiskinan wilayah di NAD.

Langkah pertama dapat berjalan paralel dengan langkah ke-dua kemudian diikuti langkah ke-tiga berupa analisis spatial yang memadukan dua informasi. Kombinasi tingkat kelayakan lahan dengan tingkat kemiskinan wilayah memberikan informasi potensi wilayah-wilayah perkebunan sawit untuk rakyat miskin.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat lokal. Potensi wilayah perkebunan untuk rakyat miskin belum tentu mencerminkan aspirasi masyarakatnya. Untuk itu perlu langkah ke-empat dengan menggali aspirasi masyarakat pada wilayah-wilayah berpotensi untuk perkebunan sawit.

Keempat langkah tersebut penting dilakukan sehingga Pemerintah Provinsi NAD mempunyai landasan untuk pengambilan keputusan. SDSS dapat dijadikan sebagai alat yang memberikan satu informasi dari beberapa kombinasi informasi, misalnya ‘lahan tidak layak untuk sawit – wilayah tidak miskin – masyarakat tidak mengharapkan sawit’ atau ‘lahan sangat layak untuk sawit – wilayah sangat miskin – masyarakat mengharapkan sawit’. Kombinasi informasi yang tersaji dalam bentuk peta akan dapat menjawab pertanyaan di mana saja wilayah-wilayah miskin yang dapat dientaskan dengan membuka perkebunan sawit baru.

-o0o-

No comments: