Thursday, March 22, 2007

BANJIR, MEGAPOLITAN DAN KONURBASI

Oleh: Chotib
(Peneliti Lembaga Demografi dan Staf Pengajar FEUI, Depok)


Banjir yang melanda Jakarta di awal Pebruari 2007 ini membuat semua orang terperangah, tidak terkecuali orang nomor satu di Indonesia dan orang nomor satu di Jakarta sekalipun. Hampir 70 persen dataran kota Jakarta terendam air dan menenggelamkan hampir semua kecamatan yang ada di provinsi ini. Banyak orang berpendapat kalau banjir tahun ini merupakan banjir terbesar sepanjang sejarah, bahkan lebih besar daripada banjir tahun 2002 maupun 1996.

Masih terngiang dalam ingatan kita, sekitar dua minggu pertama satu bulan sebelumnya sebagian penduduk Jakarta berteriak kekurangan air akibat kekeringan yang berkepanjangan. Ketika itu hujan tak kunjung tiba, padahal bulan Januari secara umum sudah merupakan musim penghujan.

Itulah Jakarta akhir-akhir ini. Dari waktu ke waktu warga Jakarta mengalami kekeringan dan kekurangan air di kala musim kemarau, dan mengalami kebanjiran di kala musim hujan. Diperkirakan dalam beberapa tahun mendatang jika pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang tidak terkendali dibiarkan terus seperti sekarang ini, Jakarta praktis tidak memiliki cadangan air tanah yang memadai. Sementara ketika musim hujan tiba, wilayah banjir akan makin meluas lagi. Wilayah-wilayah sekitar Jakarta seperti Bekasi, Tangerang dan Depok juga diperkirakan akan mengalami hal yang sama.

Pada dasarnya banjir disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Secara alamiah, Jakarta memiliki letak yang menguntungkan sekaligus merugikan. Menguntungkan karena letaknya yang berada di tepi pantai memungkinkan Jakarta cepat tumbuh karena aksesibilitas merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan kota. Merugikan karena dataran pantai pada umumnya merupakan dataran banjir sebagai tempat mengalirnya sungai-sungai dari hulu. Dengan kata lain, Jakarta tidak pernah lepas dari fenomena banjir dengan 13 sungai besar dan kecil mengalir di kota ini. Namun sepanjang banjir itu terjadi secara alamiah, maka kerugian yang ditimbulkannya tidak terlalu besar.

Kerugian menjadi jauh lebih besar ketika faktor manusia mendominasi peranannya. Seperti kita saksikan di hari-hari terakhir ini, banjir tidak hanya melanda wilayah-wilayah yang dikenal sebabai langganan banjir yang umumnya dihuni oleh warga kelas menengah ke bawah. Banjir juga melanda daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah bebas banjir dan mengenai berbagai lapisan penduduk termasuk permukiman elit sekalipun. Bahkan kantor-kantor fasilitas publik pun tidak luput dari bencana ini.

Bappenas memperkirakan kerugian akibat banjir ini lebih dari 4,1 trilyun rupiah. Belum lagi kerugian non finansial lainnya akibat terputusnya hubungan transportasi dan komunikasi, termasuk juga transaksi perbankan. Tidak sedikit di antara korban banjir dilaporkan mengalami gangguan mental (depresi, stress, dan sebagainya).

Peran faktor manusia dalam memperluas wilayah banjir ini antara lain melalui pelanggaran terhadap Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), konversi lahan secara besar-besaran yang mengakibatkan penurunan wilayah resapan air secara signifikan. Walhi memperkirakan persentase resapan air oleh tanah dari periode ke periode makin berkurang, dari 27 persen pada periode 1965-1985 menjadi 26 persen pada periode 1985-2000; dan terus berkurang lagi menjadi 13 persen untuk periode 2000-2010.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan banjir besar adalah faktor kontekstual/spasial. Secara kontekstual/spasial Jakarta terletak di daerah hilir yang ”nasibnya” sangat ditentukan oleh daerah-daerah di hulunya. Alih fungsi lahan di daerah-daerah yang seharusnya dikonservasi menjadi pusat kegiatan bisnis dan kegiatan lainnya mengakibatkan penurunan resapan air ke tanah dan mempercepat aliran air ke sungai. Diperkirakan dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2006), luas daerah terbangun di daerah puncak meningkat dua kali lipat.

Implikasi dari adanya faktor kontekstual/spasial ini adalah bahwa penanganan banjir bukanlah urusan Pemda DKI semata. Banjir harus ditangani secara bersama-sama oleh berbagai pihak tidak terkecuali pemda-pemda lain di wilayah Bodetabek dalam satu kesatuan koordinasi. Pembangunan banjir kanal misalnya, baik kanal timur maupun barat, oleh Pemda DKI tidak berarti otomatis membebaskan Jakarta dari bencana banjir. Banjir kanal hanya berfungsi memperkecil luasan daerah banjir, mengingat dampak kerusakan ekologis ruang Jakarta sudah demikian parahnya.


Megapolitan atau Konurbasi?

Belakangan ini istilah megapolitan sering muncul di berbagai bahasan dalam penanganan masalah perkotaan, termasuk juga masalah banjir. Megapolitan berasal dari kata ”megalopolis” dari bahasa Yunani yang artinya ”very large city”. United Nations juga memperkenalkan istilah “megacities” untuk kota-kota dengan jumlah penduduk 8 juta orang atau lebih yang merupakan suatu bentuk aglomerasi dari beberapa kota yang saling berdekatan.

Megapolitan merupakan suatu konsep yang menerapkan perencanaan beberapa wilayah perkotaan secara bersama-sama dalam suatu kawasan aglomerasi perkotaan. Dengan kata lain, inti dari konsep ini adalah adanya kerjasama regional pada suatu wilayah aglomerasi perkotaan.

Pada sisi lain, konsep megapolitan muncul untuk mencegah terjadinya suatu gejala konurbasi, yaitu munculnya kota-kota besar yang saling bedekatan dengan tidak terkendali. Hal ini muncul karena masing-masing pengelola kota melakukan perencanannya sendiri-sendiri. Dampak dari gejala konurbasi adalah kerusakan ekologis yang salah satunya adalah banjir bandang seperti di wilayah metropolitan Jabodetabek ini.

Sekarang tinggal pilih: megapolitan, konurbasi atau banjir terus?

No comments: